Si Agit Sagita adalah siswi pindahan dikelasku, kelas 11 IPA 4. Hampir satu semester ini ia telah menimba ilmu disini. Aku dan teman-teman biasa menyebut gadis itu ‘Agit’. Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa, bukan? atau kalian pasti menjawab karena nama dia adalah Sagita. Kalau iya maka jawaban kalian salah, tidak sepenuhnya salah sih. Jawaban tepatnya bukan karena itu, akan kujawab nanti. Meskipun kami berada dalam kelas yang sama, aku tidak terlalu mengenalnya. Terdapat beberapa kemungkinan alasan kenapa aku tak terlalu akrab dengan si Agit. Entah aku yang terlalu sombong sehingga enggan mengakrabkan diri dengan dirinya atau memang si Agit tipikal orang yang tertutup mengenai kehidupan pribadi. Sebenarnya rupa Sagita biasa saja bahkan tergolong jelek, maaf. Ditambah kebiasaan buruk gadis itu yang suka datang terlambat lengkap dengan rambut kusut menghiasi kepala gadis itu. Satu hal paling mencolok dari penampilan Sagita saat bulan pertama di
WAKTU A ku sering menikmati tenangnya rumah seorang diri, mengucapkan selamat tinggal pada dunia luar dengan mengunci pintu dan membaca buku. Sepi adalah sahabat baikku yang mampu menenangkanku dalam diam. Ia bersekongkol dengan waktu untuk memperlambat putaran jarum jam, memperlama siksa yang menderaku. Terhitung sudah tiga hari ini aku tidak bercengkrama sama sekali dengan dunia. Bagiku, hidup ini singkat dan sia-sia. Rasanya tak ada yang bisa aku lakukan. Membiarkan waktu membunuhku perlahan. Seseorang datang mengetuk pintu rumahku di pagi hari. Dengan malas aku membukanya dan mempersilahkan ia masuk. Seketika sekumpulan cahaya menyusup masuk. Tapi ia tidak merespon apapun. Jangankan merespon, ia bahkan tidak bergerak sedikitpun dari posisinya berdiri. Wajah pria di depanku ini terlihat asing. Mungkin ia adalah teman Papa. “Cari Papa ya om? Maaf, tapi Papa belum pulang dari luar kota,” terangku seadanya. Bukannya menjawab, pria itu malah menyodorkan sebuah k